Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, maka tentunya Allahpun telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi laki-laki dan wanita yang tidak semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya kita simak uraian dalil Al-Quran dan Sunnah tentang masalah ini, agar hati kita tenang dan dapat mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.
• Adapun dalil dari Al-Qur`an :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah An- Nuur : 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya”.
Ayat ini menunjukkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah haramkan, maka jangan mereka memandang kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah halalkan baginya.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah : “Kebanyakan para ulama menjadikan ayat ini sebagai akan haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat”. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
Berkata Imam Al-Qurthuby rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak halal bagi wanita-wanita mu’minah untuk memandang laki-laki selain mahramnya”. (Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an 2/227).
Berkata Imam Asy-Syaukany rahimahullah : “Ayat ini menunjukkan haramnya wanita memandang kepada selain mahramnya”. (Tafsir Fathul Qodir 4/32).
Berkata Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullah : “Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Ghofir ayat 19 :
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati”.
Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang”.
Al-Imam Al-Bukhary rahimahullah berkata : “Makna dari ayat (An-Nuur : 31) adalah memandang hal yang dilarang karena hal itu merupakan pengkhianatan terhadap mata”. (Adhwa` Al-Bayan 9/190).
Dalil-dalil dari Sunnah :
@ Dari Abi Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Hati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari majlis-majlis yang kami berbicara didalamnya ?, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menjawab : “Apabila kalian tidak mau kecuali harus bermajlis maka berikanlah jalan itu haknya”, mereka bertanya : “dan apa hak jalan itu ?, Rasulullah menjawab : “Tundukkan pandangan, Manahan dari mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (11/11) : “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya penyakit hati dan fitnah dari memandang laki-laki atauipun wanita selain mahramnya”.
@ Dari Abi Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Hati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari majlis-majlis yang kami berbicara didalamnya ?, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menjawab : “Apabila kalian tidak mau kecuali harus bermajlis maka berikanlah jalan itu haknya”, mereka bertanya : “dan apa hak jalan itu ?, Rasulullah menjawab : “Tundukkan pandangan, Manahan dari mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (11/11) : “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya penyakit hati dan fitnah dari memandang laki-laki atauipun wanita selain mahramnya”.
Berkata Syamsuddin Al-‘Azhim Al-Abady sebagaimana dalam ‘Aunul Ma’bud (13/168) : “ghodhdhul bashor (menundukkan pandangan) yaitu menahan pandangan dari melihat yang diharamkan”.
@ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menegaskan :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”.
Imam Bukhary dalam menjelaskan hadits ini menyatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina.
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”.
Imam Bukhary dalam menjelaskan hadits ini menyatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina.
Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththol, beliau berkata bahwa : “mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena asal sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang kepada hal-hal yang haram”. (Fathul Bary 11/26).
Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram karena memandang adalah wasilah (jalan) yang mengantar kita untuk berbuat zina kemaluan yang mana hal itu termasuk dosa besar.
@ Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :
يَتَحَقَّقُ رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مدري يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل البصر
“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam dan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam sisir menggaruk kepalanya, maka beliau berkata : “Sekiranya saya tahu engkau memandang (kekamarku) maka akan kutusukkan sisir ini ke matamu, sesungguhnya meminta izin itu berlaku hanya karena memandang”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
يَتَحَقَّقُ رَجُلٌ مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مدري يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل البصر
“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam dan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam sisir menggaruk kepalanya, maka beliau berkata : “Sekiranya saya tahu engkau memandang (kekamarku) maka akan kutusukkan sisir ini ke matamu, sesungguhnya meminta izin itu berlaku hanya karena memandang”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya meminta izin disebabkan karena hal memandang dan adapun larangan memandang ke dalam rumah orang tanpa memberitahu pemiliknya karena dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram”. (Fathul Bary : 11/221).
@ Dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu :
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ
“Aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memberi perintah kepadaku : “Palingkanlah pandanganmu”. (HR. Muslim).
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ
“Aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memberi perintah kepadaku : “Palingkanlah pandanganmu”. (HR. Muslim).
Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata : “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa memandang kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak disengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa”. (Bahjatun Nadzirin 3/146).
Imam An-Nawawy mengatakan : “Memandang kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa”. (Syarh Shohih Muslim 4/197).
HUKUM MEMANDANG SELAIN MAHRAM MENURUT PENDAPAT PARA ULAMA
Dari uraian dalil Al-Qur`an dan Sunnah di atas menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah haram. Dan tidak terjadi khilaf di antara para ulama akan hal itu.
Al-Imam An-Nawawy telah menukil kesepakatan para ‘ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat. (Syarh Shohih Muslim oleh An-Nawawy 6/262).
Adapun khusus wanita bila memandang dengan tanpa syahwat maka terjadi perselisihan pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, bahwa : “Kebanyakan para ulama menyatakan haram bagi wanita memandang selain mahramnya baik dengan syahwat ataupun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka menyatakan bahwa haram wanita memandang dengan syahwat, adapun tanpa syahwat maka hal itu boleh. (Tafsir Ibnu Katsir 3/354).
Adapun dalil pendapat Jumhur ulama yang menyatakan haram memandang secara mutlak adalah :
# Surah An-Nuur :31, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya”.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita memandang kepada selain mahram. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya”.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita memandang kepada selain mahram. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
Dan berkata Muhammad Ibnu Yusuf Al-Andalusy dalam Tafsirnya (Tafsirul Bahrul Muhit : 6/411) dan Imam Asy-Syaukany (Fathul Qodir : 4/32) : “Bahwa surah An-Nuur ayat 31 ini sebagai taukid (penjelas) ayat sebelumnya yaitu An-Nur ayat 30, bahwa hukum laki-laki memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak maka begitupun hukum wanita memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak pula”.
#Dan hadits Ummu Salamah :
كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُوْنَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَفَعُمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
“Pernah aku bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam dan Maimunah ada disisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam berkata : “Berhijablah kalian darinya”, maka kami mengatakan : “Bukankah Ibnu Ummi Maktum buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami ?”, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam berkata : “Apakah kalian berdua buta ?, bukankah kalian berdua dapat melihatnya ?”.
HR. Abu Daud no. 4112, At-Tirmidzy no. 2778, An-Nasa`i dalam Al-Kubro no. 9241, Ahmad 6/296, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6922, Ibnu Hibban sebagaimana Al-Ihsan no. 5575-5576, Al-Baihaqy 7/91, Ath-Thobarany 23/no. 678, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/175,178, Al-Khotib Al-Baghdady dalam Tarikhnya 3/17-18, 8/338 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/155
كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُوْنَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَفَعُمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
“Pernah aku bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam dan Maimunah ada disisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam berkata : “Berhijablah kalian darinya”, maka kami mengatakan : “Bukankah Ibnu Ummi Maktum buta, tidak melihat dan tidak mengenal kami ?”, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam berkata : “Apakah kalian berdua buta ?, bukankah kalian berdua dapat melihatnya ?”.
HR. Abu Daud no. 4112, At-Tirmidzy no. 2778, An-Nasa`i dalam Al-Kubro no. 9241, Ahmad 6/296, Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6922, Ibnu Hibban sebagaimana Al-Ihsan no. 5575-5576, Al-Baihaqy 7/91, Ath-Thobarany 23/no. 678, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/175,178, Al-Khotib Al-Baghdady dalam Tarikhnya 3/17-18, 8/338 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 19/155
Tapi hadits ini ada kelemahan didalamnya yaitu seorang rawi yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah dan ia ini adalah seorang rawi yang majhul. Karena itu hadits ini dilemahkan oleh syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1806.
Imam An- Nawawi berkata : ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syawat, dan yang rojih dalam masalah ini adalah haram, berdasarkan dalil Surah An-Nuur : 31. dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummi Salamah dan beliau berkata bahwa haditsnya hasan.
(Lihat Syarah Muslim oleh An-Nawawi 6/262)
(Lihat Syarah Muslim oleh An-Nawawi 6/262)
Adapun dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram tanpa syahwat adalah hadits Aisyah radhyiallahu ‘anha :
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِيْ مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرُ إِلَى لَعْبِهِمْ
“Aku melihat Rasullullah Shollallahu shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam di pintu kamarku dan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid Rasullullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam, (beliau) menghijabiku dengan rida`nya supaya aku dapat melihat permainan mereka”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِيْ مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرُ إِلَى لَعْبِهِمْ
“Aku melihat Rasullullah Shollallahu shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam di pintu kamarku dan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid Rasullullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam, (beliau) menghijabiku dengan rida`nya supaya aku dapat melihat permainan mereka”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Akan tetapi tidak ada pendalilan (alasan) bagi mereka dalam hadits ini untuk membolehkan memandang kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa syahwat. Dan penjelasan hal tersebut sebagai berikut :
Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 6/262) : “Adapun hadits yang menceritakan tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid memiliki beberapa kemungkinan, antara lain saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha belum mencapai masa baligh”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar (Al-Fath 2/445) : “Dalam hadits ‘Aisyah tersebut kemungkinan saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya bermaksud melihat permainan mereka bukan wajah dan badannya dan bila ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba dan tentunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha akan memalingkan pandangannya setelah itu”.
Kemungkinan lainnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam mesjid dari jarak jauh karena dalam hadits itu diceritakan bahwa ‘Aisyah berada dalam kamarnya sedangkan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid. Wallahu A’lam.
SYUBHAT YANG TERJADI SEKITAR HUKUM MEMANDANG
1. Tentang boleh atau tidaknya jika hal yang dipandang itu di dalam televisi, majallah atau koran.
Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majallah dan lain-lain, karena ayat dan hadits-hadits yang kita sebutkan sebelumnya secara umum memerintahkan untuk menundukkan pandangan (Lajnah Fatawa oleh Syeikh Ibnu Bazz).
2. Pandangan pertama adalah rahmat.
Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.
3. Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.
Ibnu Taymiyah berkata : “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada ciptaan Allah adalah ibadah termasuk melihat kepada yang haram (yang bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan bahwa perbuatan keji itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad sebagaimana ayat :
قُلْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (Q.S.Al-A’raf : 28)
Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majallah dan lain-lain, karena ayat dan hadits-hadits yang kita sebutkan sebelumnya secara umum memerintahkan untuk menundukkan pandangan (Lajnah Fatawa oleh Syeikh Ibnu Bazz).
2. Pandangan pertama adalah rahmat.
Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.
3. Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.
Ibnu Taymiyah berkata : “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada ciptaan Allah adalah ibadah termasuk melihat kepada yang haram (yang bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan bahwa perbuatan keji itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad sebagaimana ayat :
قُلْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (Q.S.Al-A’raf : 28)
Catatan:
Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini berlaku umum kecuali kalau seseorang ingin meminang maka boleh ia melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil yang sangat banyak. Wallahu A’lam.
Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini berlaku umum kecuali kalau seseorang ingin meminang maka boleh ia melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil yang sangat banyak. Wallahu A’lam.
HUKUM BERJABAT TANGAN KEPADA SELAIN MAHRAM
Adapun hukum berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara lain :
@ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menegaskan :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”.
Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan : “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan”.
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”.
Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan : “Hadits ini menerangkan bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar untuk melakukan zina kemaluan”.
@ Hadits Ma’qil bin Yasar radhyiallahu ‘anhu :
لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 226)
لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 226)
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin-Nisa hal.123).
Berkata Asy-Syinqithy (Adwa` Al-Bayan 6/603) : “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang”.
Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy (Az-Zawajir 2/4) bahwa : “dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”.
@ Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda :
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. (HR. Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrozzaq no. 9826, Ath-Thoyalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/5-6, Ath-Thobarany 24/no. 470,472,473 dan Al-Khollal dalam As-Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204, dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain.
Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thobarany 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung.)
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. (HR. Malik no. 1775, Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrozzaq no. 9826, Ath-Thoyalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot 8/5-6, Ath-Thobarany 24/no. 470,472,473 dan Al-Khollal dalam As-Sunnah no. 45. Dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204, dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shohihain.
Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad 6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thobarany 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung.)
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243 : “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya”.
@ Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, beliau berkata :
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ
“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at dan beliau tidak membai’at para wanita kecuali dengan perkataannya”.
Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 13/16) : “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”.
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ
“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam berbai’at dan beliau tidak membai’at para wanita kecuali dengan perkataannya”.
Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 13/16) : “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”.
Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60) : “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan”.
Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.
SYUBHAT-SYUBHAT YANG TERSEBAR DALAM MENYENTUH/BERJABAT TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM
1. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram dengan dalil 2 hadits dari Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha :
فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memanjangkan tangannya dari luar rumah dan kamipun memanjangkan tangan kami dari dalam rumah kemudian beliau berkata : “Ya Allah saksikanlah”.
Dan juga beliau berkata dalam riwayat Al-Bukhari:
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam membai’at kami maka beliau membacakan kepada kami ayat ((Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatupun)) dan melarang kami dari meraung (sewaktu kematian), maka wanita (itupun) memegang tangannya…”.
فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَيْتِ وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memanjangkan tangannya dari luar rumah dan kamipun memanjangkan tangan kami dari dalam rumah kemudian beliau berkata : “Ya Allah saksikanlah”.
Dan juga beliau berkata dalam riwayat Al-Bukhari:
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَنَهَانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ يَدَهَا
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam membai’at kami maka beliau membacakan kepada kami ayat ((Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatupun)) dan melarang kami dari meraung (sewaktu kematian), maka wanita (itupun) memegang tangannya…”.
BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT
Hadits pertama kata Al-Hadizh Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bazzar, Ath-Thobary dan Ibnu Mardaway dari jalan Isma’il bin ‘Abdirrahman dan dia ini kata syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah 2/65 laisa bimasyhur (tidak terkenal) maka beliau hukumi haditsnya sebagai hadits laisa bil qawy (tidak kuat).
Kata Al-hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan dari belakang hijab, itu sebagai isyarat bahwa baiat telah terjadi walaupun tidak berjabat tangan.
Dalam hadits pertama ini tidak ada kejelasan bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam hanya memanjangkan tangannya.
Pada hadits kedua, dimaksud yang memegang tangannya adalah tangan wanita itu sendiri bukan tangan Rasulullah.
Kemudian dalam dua hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Albany rahimahullah bukan pernyataan yang shorih (tegas,jelas) bahwa para wanita ini berjabat tangan dengan beliau maka tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang jelas menyatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita baik dalam bai’at maupun di luar bai’at.
Kata Al-hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan dari belakang hijab, itu sebagai isyarat bahwa baiat telah terjadi walaupun tidak berjabat tangan.
Dalam hadits pertama ini tidak ada kejelasan bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam hanya memanjangkan tangannya.
Pada hadits kedua, dimaksud yang memegang tangannya adalah tangan wanita itu sendiri bukan tangan Rasulullah.
Kemudian dalam dua hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Albany rahimahullah bukan pernyataan yang shorih (tegas,jelas) bahwa para wanita ini berjabat tangan dengan beliau maka tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang jelas menyatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita baik dalam bai’at maupun di luar bai’at.
2. Boleh menyentuh/berjabat tangan bila dilapisi dengan kain atau semacamnya,dengan dalil hadits Sya’by radhiallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَايَعَ النِّسَاءَ أُتِيَ بِثَوْبٍ قَطْرٍ فَوَضَعَهَا عَلَى يَدِهِ وَقَالَ أَنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam ketika beliau membai’at para wanita, beliau diberi kain sutra, kemudian beliau meletakkannya atas ditangannya dan berkata : “Saya tidak berjabat tangan dengan wanita”.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَايَعَ النِّسَاءَ أُتِيَ بِثَوْبٍ قَطْرٍ فَوَضَعَهَا عَلَى يَدِهِ وَقَالَ أَنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam ketika beliau membai’at para wanita, beliau diberi kain sutra, kemudian beliau meletakkannya atas ditangannya dan berkata : “Saya tidak berjabat tangan dengan wanita”.
BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT :
Hadits ini mursal (dho’if). Dikeluarkan dari ‘Abdurrazzaq dari jalan An-Nakha’i dengan mursal. Dan dari Ibnu Manshur dari jalan Qois Abi Hazm dengan jalan mursal. Karena hadits lemah, maka dikembalikan kepada hadits ynang secara umum menyatakan haramnya menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram, apakah dengan memekai pelapis/pembatas atau tidak. (Lihat Fatwa Syeikh ‘Utsaimin dan Nashihaty Lin-Nisa` oleh Ummu ‘Abdillah binti Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy hal. 14).
3. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan orang yang sudah tua
BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT :
Hal ini telah ditannyakan kepada Syeikh bin Baaz dan Syeikh ‘Utsaimin rahimahumallah dan beliau menjawab bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini apakah orang yang dijabat tangani sudah tua atau belum, karena hadits-hadits yang menyebutkan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan tidak membedakannya. Kemudian kata Syeikh batas orang tua ataupun muda, berbeda menurut penilaian masing-masing orang. (Lihat Fatwa Syeikh bin Baaz dan Syeikh ‘Utsaimin).
Wallahu A’lam bishshowab.
Hal ini telah ditannyakan kepada Syeikh bin Baaz dan Syeikh ‘Utsaimin rahimahumallah dan beliau menjawab bahwa tidak ada perbedaan dalam hal ini apakah orang yang dijabat tangani sudah tua atau belum, karena hadits-hadits yang menyebutkan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan tidak membedakannya. Kemudian kata Syeikh batas orang tua ataupun muda, berbeda menurut penilaian masing-masing orang. (Lihat Fatwa Syeikh bin Baaz dan Syeikh ‘Utsaimin).
Wallahu A’lam bishshowab.
4. Saya berjabat tangan kepada selain mahram itu karena niat yang baik.
BANTAHAN DARI SYUBHAT TERSEBUT :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu pasti berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan sholeh”. (QS. Al-Ashr : 1-3).
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu pasti berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan sholeh”. (QS. Al-Ashr : 1-3).
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian tetapi Allah melihat kepada hat-hati dan amalan-amalan kalian”. (HR. Muslim).
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian tetapi Allah melihat kepada hat-hati dan amalan-amalan kalian”. (HR. Muslim).
Berkata Al-Imam Al-Ajurry di kitab Asy-Syari’ah hal. 128 : “Amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh sebagai pembenaran iman yang ada dalam hati, maka barangsiapa yang tidak beramal tidak dikatakan sebagai orang yang beriman bahkan meninggalkan amalan adalah pendustaan terhadap imannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu A’lam bishshowab.
Wallahu A’lam bishshowab.
KESIMPULAN :
Dari uraian dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah diatas maka telah jelas bagi kita tentang larangan memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram. Bahwa hukum memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
[Dikutip dari majalan An-Nasihah dengan beberapa perubahan]
Dari uraian dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah diatas maka telah jelas bagi kita tentang larangan memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram. Bahwa hukum memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.